Kamis, 29 Maret 2018

Menanti Virus Rianita, Yohana dan Zakaria Mengamuk Di Sekolah-sekolah Kita

Oleh : Bebe Haryanto
Pengelola blog ESemA
Email : indolocavore (at) gmail.com

“Sayangnya, aku nyaris tidak punya hal yang tidak kupertanyakan.”
“Bagus. Bakat yang baik untuk jadi seorang wartawan.”

Itu adalah sepenggal quote yang dituliskan oleh Lucia Priandarini di bukunya yang berjudul Episode Hujan. Petikan tersebut mendeskripsikan salah satu ciri seorang wartawan handal, yaitu kritis dan selalu ingin tahu.

Peserta Magangers Kompas Muda IX-2017 di kantor Harian Kompas Jakarta. Wawasan dan praktek jurnalistik yang mereka terjuni antara lain diharapkan ikut membentuk mereka sebagai warga negara yang bijak dan cerdas dalam mengonsumsi dan menyebarkan informasi.  Foto : Kompas Muda.


Menohok. Mata pancing perhatian dari teras berita atau lead diatas sepertinya berhasil mengait dan mengikat pembaca ketika ditebarkan oleh penulisnya, Angelina Yohana, pada awal tulisannya. Dalam konteks dirinya sebagai pelajar SMA Tarakanita Gading Serpong yang saat menulis itu menjadi peserta magang  di harian ternama, Kompas, nampak roh dan wawasan  sebagai wartawan telah menyatu dalam dirinya.

Yohana, sungguh beruntung. Karena dalam waktu singkat mampu menimba dan memiliki wawasan penting tersebut. Demikian juga 36 teman lainnya yang tergabung dalam satuan yang diberi nama populer Magangers Batch IX Kompas Muda 2017.  Mereka berkesempatan magang di koran nasional ternama tersebut pada  bidang reporter, fotografer dan desainer grafis pada 10-15 Juli 2017.

Daftar peserta yang digembleng sebagai reporter meliputi : 1. Ahmad Rizky, SMAN 23 Tangerang, 2. Aisyah Salsabilla, Binus International School Serpong, 3. Aulia Chanifa Haryadiputri, SMAN 55 Jakarta, 4. Aunal Adha Sulistiari, SMA Kornita-IPB Bogor, 5. Benediktus Tandya Pinasthika, SMA Kolese Kanisius Jakarta, 6. Chiara Farahangiz Samandari, SMA Athalia Tangerang, 7. Faizah Diena Hanifa, SMA Negeri 2 Cibinong, 8. Fauzianie Mawar Pasyha, SMAN 16 Jakarta,  9. Gregorius Amadeo, SMA Regina Pacis Bogor, 10.  Ignacia Claresta, SMA 3 PSKD Jakarta,

11. Indira Maretta Hulu, SMAK 7 BPK Penabur Jakarta, 12. Muhammad Ari Kusumah, SMK Negeri 9 Tangerang, 13. M Bagus Al Rafi, SMA Nasional I Bekasi, 14.  Muhammad Rafi Kamil, SMAN 1 Depok, 15. Nabillah Nurul Fikriyyah, MA Ummul Quro Bogor, 16. Ramzy Erzano, SMAN 34 Jakarta Selatan, 17. Rianita Gunawan, SMA Santa Ursula Jakarta, 18. Wulan Yuniarti, SMAN 2 Jakarta, 19. Vira Kristianingrum, SMAN 88 Jakarta, 20. Yohana, SMA Tarakanita Gading Serpong Tangerang

Fotografer : 1. Alam Afrizal, SMAN 4 Depok, 2. Andrew Aditya Kusuma, Sekolah Bogor Raya, 3. DellaRagil Putri, SMAK Santo Paulus Jember, 4. Fidelis Ilham Cesardianto, SMA Pangudi Luhur II Jakarta, 5. Hafizh Daffa AS, SMKN 06 Tangerang, 6. Gregorius Bernardino Saragih, SMA Kolese Gonzaga Jakarta, 7. Josephine Angeline, SMA Kristen Ketapang 3 Jakarta, 8. Matthew Trayen, SMAK Penabur Gading Serpong Tangerang

Desainer Grafis : 1. Aji Nurhidayat, SMK Bhakti Anindya Tangerang, 2. Amadea Marie Kristi, SMA Santa Ursula BSD Tangerang, 3. Fuad Fauzi, SMKN 6 Jakarta, 4. Gracello Yeshua Davny Bonar, SMAN 98 Jakarta, 5. Jeremy Mahaputra Duta Pamungkas, SMA Ora et Labora BSD Serpong Tangerang. 6. Kevin Muhammad Atilla Aryabima, SMAN 1 Kota Bekasi. 7. Shanazia Sekar Asri, SMA Negeri 81 Jakarta, 8. Syskia Anelis, SMAN 8 Jakarta.

Sebagaimana dikisahkan oleh  oleh Indira Maretta Hulu dari SMAK 7 Penabur Jakarta, salah satu magangers seperti  mereka, bahwa terdapat  “sekitar 400 siswa yang mengirimkan karya mereka, tapi hanya terdapat 37 siswa yang mendapatkan kesempatan langka tersebut. Mereka mendapatkan kesempatan untuk menjelajahi kantor dan mengenal tentang cara kerja Harian Kompas sebagai media informasi.”

Jangan Menjadi Bodoh. Sementara itu Muhammad Rafi Kamil dari Siswa SMAN 1 Depok melaporkan pada awal permagangan itu, setelah para peserta memainkan beberapa permainan menarik sebagai ice-breaker  dan team building agar sesama peserta terjalin keakraban mengingat saling asing satu dengan lainnya.

Kamil  menulis bahwa “sebagai awalan, para magangers diperkenalkan dengan Harian Kompas. Mulai dari pendiri Kompas, hingga prestasi-prestasi yang dicapai oleh penerusnya. Pada intinya, sejak didirikan, Kompas berusaha menularkan semangat keindonesiaan dan kemanusiaan bagi pembaca setianya di segala penjuru Nusantara.”

Ketika kemudian peserta magang memperoleh pembekalan mengenai dasar-dasar jurnalistik yang diberikan oleh jurnalis Kompas, Budi Suwarna, Muhammad Rafi Kamil mencatat tentang penekanan terhadap pentingnya data yang terpercaya dalam menulis berita.  Lanjutnya, ia mengutip  paparan  Hendra dari Litbang Kompas yang menyampaikan bahwa ditengah derasnya arus informasi, hoaks atau berita bohong bin palsu menjadi racun termudah dalam menutup kebenaran informasi yang ada.

“Beliau menegaskan bahwa, sebagai seorang jurnalis yang tulisannya akan dibaca oleh masyarakat luas, menulis sesuai fakta yang adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tak hanya dari sisi penulis, kita sebagai pembaca, harus memeriksa ulang kembali sumber-sumber dari data yang disuguhkan dalam sebuah tulisan.”

Isu aktual dari pembekalan mengenai sikap yang benar sebagai jurnalis dan sebagai warga negara di tengah banjirnya informasi dari Internet, utamanya media sosial, juga menjadi bahan catatan Rianita Gunawan dari SMA Santa Ursula Jakarta. Dia yang terpilih sebagai ketua kelas untuk kelompok magangers tahun 2017 yang bertajuk Renjana itu telah mengkristalkan panduan yang penting bagi kita semua : stop being dumb on the internet. Jangan menjadi dungu di Internet.

Peringatan yang sama agar kita tidak bodoh di Internet dan akibat fatalnya juga memperoleh garis bawah dalam tulisan peserta lainnya, Wulan Yuniarti dari  SMAN 2 Jakarta.  Dia katakan, media sosial sendiri bisa menjadi pedang bermata dua buat kita. Satu sisi bisa membunuh musuh dan di sisi lain juga bisa membunuh diri sendiri. “Sudah jelas kan, demi medsos karena terlalu fokus buat selfie, jadi deh lupa lingkungan sekitar yang berbahaya. Contohnya, adanya kasus ‘Selfie Membawa Maut.’”

Memiliki Mata Baru. Permagangan mereka, tentu saja,  tidak hanya berkutat masalah teori. Datanglah hari ketiga sebagaimana dicatat oleh Ignacia Claresta dari SMA 3 PSKD Jakarta, ketika tiba masanya mereka berpraktek dan belajar tentang bagaimana cara menjadi reporter, fotografer, dan desainer grafis.

Tulisnya : “Setelah ikut training, Magangers Muda mulai turun ke lapangan untuk menerapkan materi-materi yang sudah diberikan. Ada beberapa destinasi yang akan dikunjungi oleh tiap kelompok, antara lain Stasiun Palmerah, Pasar Palmerah, Kuburan Belanda, Museum Tekstil, Perempatan Slipi, Pasar Bunga Rawabelong, Pasar Pisang, dan Kuliner Binus.”

Obyek atau destinasi di atas yang sehari-harinya nampak  terlalu biasa dan mungkin tidak menarik perhatian, kemudian bisa berubah. Utamanya setelah mereka memperoleh pembekalan wawasan jurnalistik, membuat  mereka seolah memiliki mata dan wawasan baru. Dengan wawasan itu pula kemudian banyak mereka temukan hal-ihwal aktivitas manusia yang bernilai untuk diangkat sebagai berita, sebagai cerita.


Apa Sesudah Pasca Magang ? Keterampilan menulis, memindahkan pikiran ke dalam bahasa, seringkali hanya dikaitkan dengan beberapa profesi tertentu saja. Wartawan, penyair dan sastrawan. Juga dosen. Para magangers telah menerjuni kiprah tersebut dengan menjadi jurnalis muda. Menulis untuk keperluan menulis berita.

Yang patut ditunggu adalah : apa yang bakal mereka lakukan sesudah praktek magang tersebut usai ? Apakah mereka tergerak untuk memupuk terus kebiasaan menulis untuk meningkatkan kapasitas intelektualnya ? Apakah mereka mengelola blog pribadi untuk hal tersebut ? Apakah fihak sekolah memberikan sesuatu apresiasi yang memadai kepada mereka ? 

Apakah ilmu, wawasan dan seluk-beluk praktek jurnalistik yang mereka serap dan lakukan itu bisa mereka tularkan kepada teman-teman sekolah mereka, misalnya untuk penerbitan yang lebih baik bagi majalah sekolah atau bahkan bagi situs web sekolah mereka ?  Karena banyak situs dari sekolah ternama pun mangkrak, seadanya, bahkan memprihatinkan baik isi mau pun penampilan situs webnya. 

Apakah permagangan mereka itu mampu membukakan cakrawala pemahaman bahwa dalam dunia pendidikan yang akan mereka tempuh selanjutnya, dan juga ketika kelak menerjuni dunia pekerjaan, betapa  keterampilan menulis dibutuhkan oleh semua oranguntuk menunjang sukses karier dan kehidupannya ? Termasuk menulis sebagai wujud peranserta dirinya sebagai warga negara ? Sadarkah mereka bahwa keterampilan menulis merupakan bagian dari keterampilan berkomunikasi,  di mana praktek komunikasi yang baik dibutuhkan dalam sepanjang usia yang bersangkutan ?

Sayangnya, keterampilan menulis nampak bukan sebagai hal yang dianggap penting dalam dunia pendidikan kita. Contoh aktual : di pelbagai sekolah menengah atas, di Jakarta  pun, pada sekolah yang kita kenal sebagai sekolah ternama pun, tidak banyak dari sekolah itu yang mampu mengelola penerbitan berisikan karya-karya anak didik mereka.

Sekadar contoh, bila kita menelusur di Internet untuk mencoba mengetahui apa saja kegiatan ekstrakurikuler, misalnya di SMA Tarakanita 1, SMA Tarakanita 2, SMA Santa Ursula, SMA Santa Theresia, SMA Negeri 3 Jakarta, tidak tercantum kegiatan menulis sebagai salah satu mata kegiatan ekskulnya. Hanya di SMA Regina Pacis Jakarta yang mencantumkan kegiatan ektrakurikuler jurnalistik.

Harapan saya : semoga mereka yang telah menjalani permagangan itu bisa menebarkan virus pentingnya membaca dan menulis di lingkungan sekolahnya. Karena di dunia yang sarat perubahan dewasa ini, agar seseorang mampu terus survive maka setiap orang dituntut untuk terus belajar seumur hidup. Salah satu cara belajar yang terbaik adalah dengan membaca dan menulis.

Seorang jurnalis terkenal, Fareed Zakaria, yang kita kenal sebagai host acara bergengsi “Fareed Zakaria’s GPS” di CNN  dan editor majalah Time, dalam bukunya In Defense of Liberal Education  (2015) telah menegaskan : “Manfaat utama pendidikan liberal adalah pengajaran mengenai bagaimana menulis, karena menulis membuat Anda mampu berpikir.”

Merujuk pendapat yang dikutip Yohana di awal artikel mengenai pentingnya selalu bertanya, maka kita kini bisa bertanya : mampukah dunia pendidikan kita mendengar pendapat hebat dari Fareed Zakaria ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar