Kamis, 29 Maret 2018

Menanti Virus Rianita, Yohana dan Zakaria Mengamuk Di Sekolah-sekolah Kita

Oleh : Bebe Haryanto
Pengelola blog ESemA
Email : indolocavore (at) gmail.com

“Sayangnya, aku nyaris tidak punya hal yang tidak kupertanyakan.”
“Bagus. Bakat yang baik untuk jadi seorang wartawan.”

Itu adalah sepenggal quote yang dituliskan oleh Lucia Priandarini di bukunya yang berjudul Episode Hujan. Petikan tersebut mendeskripsikan salah satu ciri seorang wartawan handal, yaitu kritis dan selalu ingin tahu.

Peserta Magangers Kompas Muda IX-2017 di kantor Harian Kompas Jakarta. Wawasan dan praktek jurnalistik yang mereka terjuni antara lain diharapkan ikut membentuk mereka sebagai warga negara yang bijak dan cerdas dalam mengonsumsi dan menyebarkan informasi.  Foto : Kompas Muda.


Menohok. Mata pancing perhatian dari teras berita atau lead diatas sepertinya berhasil mengait dan mengikat pembaca ketika ditebarkan oleh penulisnya, Angelina Yohana, pada awal tulisannya. Dalam konteks dirinya sebagai pelajar SMA Tarakanita Gading Serpong yang saat menulis itu menjadi peserta magang  di harian ternama, Kompas, nampak roh dan wawasan  sebagai wartawan telah menyatu dalam dirinya.

Yohana, sungguh beruntung. Karena dalam waktu singkat mampu menimba dan memiliki wawasan penting tersebut. Demikian juga 36 teman lainnya yang tergabung dalam satuan yang diberi nama populer Magangers Batch IX Kompas Muda 2017.  Mereka berkesempatan magang di koran nasional ternama tersebut pada  bidang reporter, fotografer dan desainer grafis pada 10-15 Juli 2017.

Daftar peserta yang digembleng sebagai reporter meliputi : 1. Ahmad Rizky, SMAN 23 Tangerang, 2. Aisyah Salsabilla, Binus International School Serpong, 3. Aulia Chanifa Haryadiputri, SMAN 55 Jakarta, 4. Aunal Adha Sulistiari, SMA Kornita-IPB Bogor, 5. Benediktus Tandya Pinasthika, SMA Kolese Kanisius Jakarta, 6. Chiara Farahangiz Samandari, SMA Athalia Tangerang, 7. Faizah Diena Hanifa, SMA Negeri 2 Cibinong, 8. Fauzianie Mawar Pasyha, SMAN 16 Jakarta,  9. Gregorius Amadeo, SMA Regina Pacis Bogor, 10.  Ignacia Claresta, SMA 3 PSKD Jakarta,

11. Indira Maretta Hulu, SMAK 7 BPK Penabur Jakarta, 12. Muhammad Ari Kusumah, SMK Negeri 9 Tangerang, 13. M Bagus Al Rafi, SMA Nasional I Bekasi, 14.  Muhammad Rafi Kamil, SMAN 1 Depok, 15. Nabillah Nurul Fikriyyah, MA Ummul Quro Bogor, 16. Ramzy Erzano, SMAN 34 Jakarta Selatan, 17. Rianita Gunawan, SMA Santa Ursula Jakarta, 18. Wulan Yuniarti, SMAN 2 Jakarta, 19. Vira Kristianingrum, SMAN 88 Jakarta, 20. Yohana, SMA Tarakanita Gading Serpong Tangerang

Fotografer : 1. Alam Afrizal, SMAN 4 Depok, 2. Andrew Aditya Kusuma, Sekolah Bogor Raya, 3. DellaRagil Putri, SMAK Santo Paulus Jember, 4. Fidelis Ilham Cesardianto, SMA Pangudi Luhur II Jakarta, 5. Hafizh Daffa AS, SMKN 06 Tangerang, 6. Gregorius Bernardino Saragih, SMA Kolese Gonzaga Jakarta, 7. Josephine Angeline, SMA Kristen Ketapang 3 Jakarta, 8. Matthew Trayen, SMAK Penabur Gading Serpong Tangerang

Desainer Grafis : 1. Aji Nurhidayat, SMK Bhakti Anindya Tangerang, 2. Amadea Marie Kristi, SMA Santa Ursula BSD Tangerang, 3. Fuad Fauzi, SMKN 6 Jakarta, 4. Gracello Yeshua Davny Bonar, SMAN 98 Jakarta, 5. Jeremy Mahaputra Duta Pamungkas, SMA Ora et Labora BSD Serpong Tangerang. 6. Kevin Muhammad Atilla Aryabima, SMAN 1 Kota Bekasi. 7. Shanazia Sekar Asri, SMA Negeri 81 Jakarta, 8. Syskia Anelis, SMAN 8 Jakarta.

Sebagaimana dikisahkan oleh  oleh Indira Maretta Hulu dari SMAK 7 Penabur Jakarta, salah satu magangers seperti  mereka, bahwa terdapat  “sekitar 400 siswa yang mengirimkan karya mereka, tapi hanya terdapat 37 siswa yang mendapatkan kesempatan langka tersebut. Mereka mendapatkan kesempatan untuk menjelajahi kantor dan mengenal tentang cara kerja Harian Kompas sebagai media informasi.”

Jangan Menjadi Bodoh. Sementara itu Muhammad Rafi Kamil dari Siswa SMAN 1 Depok melaporkan pada awal permagangan itu, setelah para peserta memainkan beberapa permainan menarik sebagai ice-breaker  dan team building agar sesama peserta terjalin keakraban mengingat saling asing satu dengan lainnya.

Kamil  menulis bahwa “sebagai awalan, para magangers diperkenalkan dengan Harian Kompas. Mulai dari pendiri Kompas, hingga prestasi-prestasi yang dicapai oleh penerusnya. Pada intinya, sejak didirikan, Kompas berusaha menularkan semangat keindonesiaan dan kemanusiaan bagi pembaca setianya di segala penjuru Nusantara.”

Ketika kemudian peserta magang memperoleh pembekalan mengenai dasar-dasar jurnalistik yang diberikan oleh jurnalis Kompas, Budi Suwarna, Muhammad Rafi Kamil mencatat tentang penekanan terhadap pentingnya data yang terpercaya dalam menulis berita.  Lanjutnya, ia mengutip  paparan  Hendra dari Litbang Kompas yang menyampaikan bahwa ditengah derasnya arus informasi, hoaks atau berita bohong bin palsu menjadi racun termudah dalam menutup kebenaran informasi yang ada.

“Beliau menegaskan bahwa, sebagai seorang jurnalis yang tulisannya akan dibaca oleh masyarakat luas, menulis sesuai fakta yang adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tak hanya dari sisi penulis, kita sebagai pembaca, harus memeriksa ulang kembali sumber-sumber dari data yang disuguhkan dalam sebuah tulisan.”

Isu aktual dari pembekalan mengenai sikap yang benar sebagai jurnalis dan sebagai warga negara di tengah banjirnya informasi dari Internet, utamanya media sosial, juga menjadi bahan catatan Rianita Gunawan dari SMA Santa Ursula Jakarta. Dia yang terpilih sebagai ketua kelas untuk kelompok magangers tahun 2017 yang bertajuk Renjana itu telah mengkristalkan panduan yang penting bagi kita semua : stop being dumb on the internet. Jangan menjadi dungu di Internet.

Peringatan yang sama agar kita tidak bodoh di Internet dan akibat fatalnya juga memperoleh garis bawah dalam tulisan peserta lainnya, Wulan Yuniarti dari  SMAN 2 Jakarta.  Dia katakan, media sosial sendiri bisa menjadi pedang bermata dua buat kita. Satu sisi bisa membunuh musuh dan di sisi lain juga bisa membunuh diri sendiri. “Sudah jelas kan, demi medsos karena terlalu fokus buat selfie, jadi deh lupa lingkungan sekitar yang berbahaya. Contohnya, adanya kasus ‘Selfie Membawa Maut.’”

Memiliki Mata Baru. Permagangan mereka, tentu saja,  tidak hanya berkutat masalah teori. Datanglah hari ketiga sebagaimana dicatat oleh Ignacia Claresta dari SMA 3 PSKD Jakarta, ketika tiba masanya mereka berpraktek dan belajar tentang bagaimana cara menjadi reporter, fotografer, dan desainer grafis.

Tulisnya : “Setelah ikut training, Magangers Muda mulai turun ke lapangan untuk menerapkan materi-materi yang sudah diberikan. Ada beberapa destinasi yang akan dikunjungi oleh tiap kelompok, antara lain Stasiun Palmerah, Pasar Palmerah, Kuburan Belanda, Museum Tekstil, Perempatan Slipi, Pasar Bunga Rawabelong, Pasar Pisang, dan Kuliner Binus.”

Obyek atau destinasi di atas yang sehari-harinya nampak  terlalu biasa dan mungkin tidak menarik perhatian, kemudian bisa berubah. Utamanya setelah mereka memperoleh pembekalan wawasan jurnalistik, membuat  mereka seolah memiliki mata dan wawasan baru. Dengan wawasan itu pula kemudian banyak mereka temukan hal-ihwal aktivitas manusia yang bernilai untuk diangkat sebagai berita, sebagai cerita.


Apa Sesudah Pasca Magang ? Keterampilan menulis, memindahkan pikiran ke dalam bahasa, seringkali hanya dikaitkan dengan beberapa profesi tertentu saja. Wartawan, penyair dan sastrawan. Juga dosen. Para magangers telah menerjuni kiprah tersebut dengan menjadi jurnalis muda. Menulis untuk keperluan menulis berita.

Yang patut ditunggu adalah : apa yang bakal mereka lakukan sesudah praktek magang tersebut usai ? Apakah mereka tergerak untuk memupuk terus kebiasaan menulis untuk meningkatkan kapasitas intelektualnya ? Apakah mereka mengelola blog pribadi untuk hal tersebut ? Apakah fihak sekolah memberikan sesuatu apresiasi yang memadai kepada mereka ? 

Apakah ilmu, wawasan dan seluk-beluk praktek jurnalistik yang mereka serap dan lakukan itu bisa mereka tularkan kepada teman-teman sekolah mereka, misalnya untuk penerbitan yang lebih baik bagi majalah sekolah atau bahkan bagi situs web sekolah mereka ?  Karena banyak situs dari sekolah ternama pun mangkrak, seadanya, bahkan memprihatinkan baik isi mau pun penampilan situs webnya. 

Apakah permagangan mereka itu mampu membukakan cakrawala pemahaman bahwa dalam dunia pendidikan yang akan mereka tempuh selanjutnya, dan juga ketika kelak menerjuni dunia pekerjaan, betapa  keterampilan menulis dibutuhkan oleh semua oranguntuk menunjang sukses karier dan kehidupannya ? Termasuk menulis sebagai wujud peranserta dirinya sebagai warga negara ? Sadarkah mereka bahwa keterampilan menulis merupakan bagian dari keterampilan berkomunikasi,  di mana praktek komunikasi yang baik dibutuhkan dalam sepanjang usia yang bersangkutan ?

Sayangnya, keterampilan menulis nampak bukan sebagai hal yang dianggap penting dalam dunia pendidikan kita. Contoh aktual : di pelbagai sekolah menengah atas, di Jakarta  pun, pada sekolah yang kita kenal sebagai sekolah ternama pun, tidak banyak dari sekolah itu yang mampu mengelola penerbitan berisikan karya-karya anak didik mereka.

Sekadar contoh, bila kita menelusur di Internet untuk mencoba mengetahui apa saja kegiatan ekstrakurikuler, misalnya di SMA Tarakanita 1, SMA Tarakanita 2, SMA Santa Ursula, SMA Santa Theresia, SMA Negeri 3 Jakarta, tidak tercantum kegiatan menulis sebagai salah satu mata kegiatan ekskulnya. Hanya di SMA Regina Pacis Jakarta yang mencantumkan kegiatan ektrakurikuler jurnalistik.

Harapan saya : semoga mereka yang telah menjalani permagangan itu bisa menebarkan virus pentingnya membaca dan menulis di lingkungan sekolahnya. Karena di dunia yang sarat perubahan dewasa ini, agar seseorang mampu terus survive maka setiap orang dituntut untuk terus belajar seumur hidup. Salah satu cara belajar yang terbaik adalah dengan membaca dan menulis.

Seorang jurnalis terkenal, Fareed Zakaria, yang kita kenal sebagai host acara bergengsi “Fareed Zakaria’s GPS” di CNN  dan editor majalah Time, dalam bukunya In Defense of Liberal Education  (2015) telah menegaskan : “Manfaat utama pendidikan liberal adalah pengajaran mengenai bagaimana menulis, karena menulis membuat Anda mampu berpikir.”

Merujuk pendapat yang dikutip Yohana di awal artikel mengenai pentingnya selalu bertanya, maka kita kini bisa bertanya : mampukah dunia pendidikan kita mendengar pendapat hebat dari Fareed Zakaria ?

Selasa, 06 Maret 2018

Taylor Swift, Budaya Mencatat Bangsa Jepang dan Video Keren Tarakanita

Oleh : Bebe Haryanto
Pengelola blog ESemA
Email : indolocavore (at) gmail.com
















“Hi Indonesia,
kamu sudah bisa mendapatkan album Speak Now
mulai minggu ini dari kota Jakarta dahulu, terima kasih.”

Status diatas terpajang di akun Facebook penyanyi dan pencipta lagu terkenal di dunia, 1 November 2010. Tanggal 4 Juni 2014, dia hadir berkonser di Jakarta. Dan baru saja untuk dua tahun berturut-turut majalah insdustri musik bergengsi Billboard menobatkannya sebagai penyanyi terbaik tahun ini.

Dia adalah Taylor Swift.

Dara imut kelahiran 13 Desember 1989 dengan tinggi badan 178 cm ini sudah menulis lagu sejak berumur 12 tahun. Dia menyebutkan, musiknya tidak lain merupakan buku harian dari hidupnya. Namun menurutnya, “mencipta lagu itu tidak dapat dipaksakan.” Seperti pernah ia katakan bahwa dirinya semata menunggu ilham datang dan segera menangkapnya.

Salah satu sarana terpenting dalam proses penciptaan lagu-lagunya yang hit dan mendunia itu adalah bloknot dan bolpoin yang selalu menemaninya kemana pun pergi.  Keep a notebook and pen handy, however, to capture any brainstorms that hit while you’re out and about,” tutur Taylor Swift. 

Tradisi Jepang. Kebiasaan baik ini ternyata juga dilakukan oleh orang Jepang. Cerita menarik ini yang membagikannya adalah Harry Davis, pengajar MBA di Sekolah Bisnis Harvard. Kata Pak Davis, turis Jepang keliling dunia, catat ini dan catat itu, lalu datanya dihimpun, dianalisis, jadilah produk Jepang membanjiri dunia. Selain itu, hal penting disebalik kegiatan catat-mencatat tersebut yang nampaknya belum banyak diajarkan di sekolah kita, yaitu pembelajaran untuk mengamati.

Kebiasaan itu tidak hanya berlaku untuk wisatawan. Tetapi juga lajim berlangsung di dunia akademis. Seorang warga Indonesia yang pernah belajar dan mengajar di Jepang, Hasanudin Abdurakhman, dalam bukunya Melawan Miskin Pikiran : Memenangkan Pertarungan Hidup Ala Kang Hasan (2016) menceritakan : 

"Masa-masa awal studi saya di Jepang dulu kebanyakan saya habiskan dengan mempelajari cara mengoperasikan alat-alat eksperimen. Bidang ilmu saya Fisika, khususnya saya belajar Fisika Bahan. Banyak eksperimen yang harus saya lakukan untuk menyelesaikan studi S2 dan S3.

Waktu belajar di jenjang S1 di Indonesia saya nyaris tidak bersentuhan dengan peralatan eksperimen, kecuali waktu praktikum. Karenanya banyak alat eksperimen yang belum saya kenal.

Saat saya belajar menggunakan alat, saya dibimbing oleh mahasiswa senior. Bersama saya ada beberapa mahasiswa seangkatan, yang baru saja bergabung pada grup riset tempat saya belajar. Saat diajari saya menyimak dan mempraktikan cara-cara mengoperasikan alat.

Sebagian besar saya ingat dan hafal di luar kepala, sedangkan hal-hal detil yang tidak mungkin saya ingat seperti angka-angka parameter, saya catat. Saya perhatikan para mahasiswa Jepang tadi sangat berbeda dengan saya. Mereka mencatat semua instruksi yang diberikan, langkah demi langkah. Beberapa bahkan membuat gambar.

Di masa-masa berikutnya saya perhatikan, mencatat adalah kebiasaan orang Jepang. Dalam setiap pertemuan mereka selalu siap dengan buku catatan dan pulpen. Demikian pula saat mengerjakan sesuatu.

Seorang associate professor yang merupakan teman dekat saya malah membuat semacam log book ketika melakukan eksperimen. Di log book itu dia mencatat setiap kejadian maupun hasil eksperimen, seperti grafik data yang tampil di layar monitor.

Ada pengalaman yang lebih menarik soal catat mencatat ini. Saat saya bekerja sebagai Visiting Associate Professor di Tohoku University yang juga almamater saya, salah satu eksperimen saya adalah memberikan doping yodium pada molekul DNA yang saya teliti. Ketika itu saya belum tahu cara melakukannya dan sedang mencari-cari literatur yang menjelaskan soal itu.

Saat itu profesor pembimbing saya teringat bahwa waktu dia studi di tingkat master dia pernah melakukan doping yodium atas sampel tertentu. Lalu dia pergi ke ruangannya dan kembali dengan sebuah buku catatan tua. Itu adalah buku catatan yang dia buat saat kuliah di tingkat master dulu. Artinya catatan itu sudah dia simpan hampir 30 tahun, berisi berbagai kegiatan eksperimen dia, termasuk tentang metode doping yodium tadi.

Luar biasa.

Kini saat saya bekerja di perusahaan, saya menyaksikan hal yang sama. Setiap orang Jepang selalu membekali diri dengan buku catatan. Setiap ada tamu, meski tidak ada agenda membahas persoalan tertentu mereka selalu datang ke ruang pertemuan dengan membawa catatan."

Tidak sekadar video. Umpama saja keteladanan Taylor Swift dan para akademisi dan turis Jepang itu sudah menulari para pelajar kita, semua fihak akan memperoleh manfaat.  Sekadar contoh adalah pengalaman hebat dari para siswi  sekolah homogen cewek, SMA Tarakinita 1 Jakarta, di tahun 2017. Terdapat 10 siswi yang memperoleh kesempatan untuk memperluas wawasan globalnya dengan ikut program homestay selama 10 hari di Jepang.
 
Sebagaimana diwartakan oleh situs Hai, program  ini bisa terjadi berkat kerja sama antara  Yayasan Tarakanita Indonesia dan Yayasan Suruga Jepang yang sama-sama punya misi meningkatkan kualitas pendidikan di kedua negara. 

 "SMA Tarakanita 1 Pulo Raya memberi kesempatan bagi 10 pelajar putri terbaik untuk dapat meraih Program Home Stay yang diadakan oleh Yayasan Suruga Jepang, mengikuti pendidikan di Sekolah Harima Hyogo, Jepang selama 10 hari, " jelas Suster Kepala Sekolah SMA Tarakanita 1 Pulo Raya, Sr. Pauletta, CB, M.Pd., pada Minggu (2/4) lalu seperti dilaporkan Tribun News.

Sepuluh duta pelajar dan bangsa Indonesia ke Jepang, 2017.









Untuk bisa mengikuti program ini, para siswi mesti mengikuti seleksi yang cukup ketat. Dari total 79 pendaftar di tahap seleksi administrasi, hanya 39 siswi yang terpilih. Lalu setelah tahap interview, tersaring lah 25 siswi. Dan di tahap karantina ini, dari 25 finalis terpilihlah 10 siswi yang diberangkatkan. Mereka adalah :

1. Ardela Michellina Prabowo (kelas X)
      2. Eugenia Putri Ayuningtyas (kelas X)
      3. Andini Yuvita Putri (kelas X)
      4. Maria Ba’u Hasiholan (kelas XI)
      5. Kresensia Chilia Ika Bulan (kelas XI)
      6. Liony Maria Datu (kelas XI)
      7. Diva Ananti (kelas XI      
      8. Natasha Davina (kelas XI)      
      9. Rania Ameera Moeljono (kelas XI)
     10. Mulia Setyowati (kelas XI)

Salah satu dari ke-sepuluh dara-dara cantik dan cerdas sarat prestasi  itu adalah  Rania Ameera Moeljono yang kemudian mengunggah video yang segar dan dinamis, berupa mosaik kegiatan mereka selama di Jepang. Silakan klik disini.  Adegan yang saya sukai adalah potongan adegan saat dari mereka sedang belajar bela diri a la Jepang.

Saya berandai-andai : apabila ke-sepuluh mereka sebelum berangkat memperoleh pesan atau bekal untuk membuat catatan aktivitas mereka, tentu akan mewariskan banyak catatan mengenai hal-hal positif selama mereka tinggal di negara maju tersebut. Syukur-syukur bila mereka adalah redaksi majalah sekolah Starpura, sehingga keterampilannya dalam menulis sudah memiliki dasar cukup.

Karena, hemat saya, bila saja catatan Ardela Michellina Prabowo dan kawan-kawan selama di Negeri Sakura itu digubah dalam bentuk cerita, besar kemungkinan himpunan itu dapat  diterbitkan sebagai buku yang menarik. Lebih menarik lagi bila digabungkan dengan karya para murid Sekolah Harima Hyogo Jepang yang juga melakukan program serupa di Indonesia.

Semoga usul-usil ini bermanfaat. Dan sebenarnya tidak ada kata terlambat untuk mewujudkan hal di atas.  Apakah  ke-sepuluh duta istimewa bangsa Indonesia asal sekolah Puloraya itu memiliki pendapat atas tantangan positif ini ?

Minggu, 04 Maret 2018

Elek Yo Band Sampai Ekskul Musik : Asyik !

Oleh : Bebe Haryanto
Pengelola blog ESemA
Email : indolocavore (at) gmail.com


“Namaku Bento rumah real estate
Mobilku banyak harta berlimpah
Orang memanggilku boss eksekutif
Tokoh papan atas atas segalanya
Asyik

Maling kelas teri bandit kelas coro
Itu kantong sampah
Siapa yang mau berguru datang padaku
Sebut tiga kali namaku Bento Bento Bento
Asyik”

Lagu “Bento” dari Iwan Fals ini menjadi penutup yang sempurna ketika grup musik istimewa Elek Yo Band ini tampil dalam perhelatan musik BNI Java Jazz 2018 di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat (2/3/2018). Kata “Asyik” bergemuruh ikut dinyanyikan oleh semua pengunjung dengan bergembira. 

Anda tahu siapa saja personil grup musik biang heboh saat ini tersebut  ?

Pemain Musik Istimewa. Menkeu Sri Mulyani (kiri), Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki (kedua kiri), Menaker Hanif Dhakiri (kedua kanan), dan Menlu Retno Marsudi beraksi bersama Elek Yo Band dalam Java Jazz Festival 2018 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, 2 Maret 2018.
Band ini membawakan lagu berjudul Dia, Juwita Malam, Ku Tak Bisa dan Bento. ANTARA, Sumber foto : Tempo.co

Di acara tersebut seperti dilansir Detik.com Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki memperkenalkan para personil Elek Yo Band. Meskipun hampir semua penonton sudah mengenal mereka. "Pertama,  Ibu Retno pekerjaan sampingannya Menteri Luar Negeri. Kedua, Ibu Sri Mulyani yang mundur dari World Bank untuk gabung dalam Elek Yo Band,  pekerjaan sampingan Menteri Keuangan. Ketiga,  Hanif pekerjaan sampingan Menaker. Lalu Pak Budi Menteri Perhubungan, Pak Triawan Kepala Bekraf, Pak Agus Marsudi suami Ibu Retno. Terakhir ini tukang gali tol Pak Basuki," tuturnya disambut tawa para penonton.

Beberapa saat lalu Presiden Joko Widodo yang dikenal menyukai grup metal Metallica, memberikan pendapat tentang para menterinya yang bermain musik itu. Katanya, "Saya mengapresiasi Elek Yo Band, jelek ya biar. Saya kira itu juga menunjukkan kekompakan kita semua dalam bekerja," kata Jokowi saat membuka rapat kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 3 Januari 2018.

Ekskul musik. Kekompakan merupakan salah satu tuntutan, hikmah  sekaligus keterampilan sosial yang hadir dan terasah bila kita bermain musik.  Tanpa kerja tim yang baik maka pagelaran musik sehebat apa pun individu pemainnya, akan menjadi suguhan  seni yang rusak dan tidak menarik. Merujuk hal positif itu, di pelbagai sekolah menengah atas di manca negara menganjurkan muridnya yang berbakat untuk menerjuni kegiatan bermusik-ria sebagai pilihan ekskulnya.

Situs Varsity Tutors menegaskan bahwa belajar dan bermain musik memungkinkan siswa berkesempatan mempelajari keterampilan baru. Belajar bermain musik adalah tantangan yang memungkinkan siswa melatih otak mereka dengan cara baru. Sementara beberapa orang mungkin merasa aktivitas itu sebagai beban lain untuk dipelajari di antara beban pekerjaan rumah yang sudah membuat siswa sibuk, bermain musik sebenarnya menjadi sarana bantu menenangkan otak,  memberi siswa untuk beristirahat secara rutin dari pekerjaan sekolahnya, tetapi sekaligus  tetap menjaga pikirannya tetap bekerja.

Banyak orang menemukan pembelajaran, bermain, dan mendengarkan musik  untuk menjadi terapi. Sehingga keterlibatan mereka bermusik-ria  yang secara teratur  itu dapat memberi siswa kestabilitan emosional yang hebat pula. Mereka dapat memilih yang disukainya, dari bermain orkestra, paduan suara atau pun marching band sekolah mereka.

Mampu Atur Prioritas. Seringkali pada awalnya siswa dihantui ketakutan kegiatan ekstrakurikuler yang memakan waktu itu akan menambah beban kerja mereka dan meningkatkan tingkat stres. Namun hasilnya  justru sebaliknya. Kenyataannya, sebagian besar siswa akhirnya mampu belajar  memilih prioritas  secara lebih baik ketika mereka memiliki kegiatan ekstrakurikuler yang sangat menuntut dalam jadwal hidup mereka.

Agar berhasil ekstrakurikulernya dalam bermain musik, disarankan agar siswa  benar-benar meluangkan waktu untuk menyelidiki dan membuat keputusan akhir tentang instrumen apa yang akan Anda mainkan.  Karena dirinya diharapkan menginvestasikan waktu secara serius dalam proses pembelajarannya. Jika dirinya cocok dan beruntung, hal itu bisa menjadi gairah baru bagi yang bersangkutan.

Kemungkinan kuat munculnya gairah baru tersebut merupakan alasan lain untuk mempertimbangkan musik sebagai ekstrakurikuler. Selain menjalankan aktivitas secara keseluruhan, siswa tersebut akan menemukan tanggung jawab individu baru yang dapat meningkatkan keterlibatannya secara signifikan dan memberinya hobi pribadi untuk dinikmati. Siswa yang berinvestasi dalam ide semacam itu biasanya akan lebih terdorong untuk mewujudkan pemikiran kreatifnya dan sikap kritisnya di sekolah setiap harinya dan  menerapkannya lebih sering ke kelas mereka.

Jangan pernah meremehkan kekuatan memiliki sesuatu yang mampu menjadi pemicu  semangat dan bagaimana hal itu dapat mempengaruhi pengalaman siswa dalam sehari-harinya secara positif, yang dalam hal ini pengalaman pendidikan. Bergabung dengan ansambel musik akan menciptakan zona nyaman bagi siswa untuk mengekspresikan kreativitas mereka dan membiarkannya berkembang di tengah-tengah rekan mereka memiliki tujuan yang persis sama.

Gairah Cinta Terus Menyala. Seperti ditunjukkan dalam grup musik Elek Yo Band yang beranggotakan menteri dan pejabat dari beragam kementerian dan lembaga negara, maka acara bermusik seperti latihan ekstra sampai saat pentas,  akan memberikan kepada siswa insentif kegairahan yang terus menyala. 

Hal positif ini akan terus terjaga sehingga saat mereka lulus para  siswa itu akan memiliki banyak alasan untuk tetap cerah dan tertarik kepada dunia akademis mereka.  

Bahkan berinteraksi sebagai anggota tim yang memainkan musik dalam kegiatan ekstrakurikuler di masa sekolah, manfaatnya sampai mengalir lestari saat belasan tahun ketika mereka sudah tidak menjadi siswa lagi. Misalnya seperti ditunjukkan oleh Korps Putri Tarakanita, yaitu kelompok marching band sekolah homogen SMA Tarakanita 1 Jakarta. 

Tercatat betapa para alumninya sampai membentuk organisasi yang bernama puitis, Iliora, yang terus lestari, terus berkreasi yang bermanfaat bagi masyarakat seperti mendonorkan darah, sekaligus  menjaga keakraban yang bisa disebut kental, fanatik dan penuh cinta antarmereka.

Jadi bisa disimpulkan : Elek Yo Band, Marching Band, Ekskul Musik ?

Asyiiik !