Pengelola blog ESemA
Email : indolocavore (at) gmail.com
Email : indolocavore (at) gmail.com
“Hi Indonesia,
kamu sudah bisa mendapatkan album Speak Now
mulai minggu ini dari kota Jakarta
dahulu, terima kasih.”
Status diatas terpajang di akun Facebook
penyanyi dan pencipta lagu terkenal di dunia, 1 November 2010. Tanggal 4 Juni
2014, dia hadir berkonser di Jakarta. Dan baru saja untuk dua tahun
berturut-turut majalah insdustri musik bergengsi Billboard menobatkannya
sebagai penyanyi terbaik tahun ini.
Dia adalah Taylor Swift.
Dia adalah Taylor Swift.
Dara imut kelahiran 13 Desember 1989 dengan tinggi badan 178 cm ini
sudah menulis lagu sejak berumur 12 tahun. Dia menyebutkan, musiknya tidak lain
merupakan buku harian dari hidupnya. Namun menurutnya, “mencipta lagu itu tidak
dapat dipaksakan.” Seperti pernah ia katakan bahwa dirinya semata
menunggu ilham datang dan segera menangkapnya.
Salah satu sarana terpenting dalam proses penciptaan lagu-lagunya yang
hit dan mendunia itu adalah bloknot dan bolpoin yang selalu menemaninya kemana
pun pergi. “Keep a notebook and pen
handy, however, to capture any brainstorms that hit while you’re out and
about,” tutur Taylor Swift.
Tradisi Jepang. Kebiasaan baik ini ternyata juga dilakukan oleh orang Jepang. Cerita menarik ini yang membagikannya adalah Harry Davis, pengajar MBA di Sekolah
Bisnis Harvard. Kata Pak Davis, turis Jepang keliling dunia, catat ini dan catat itu,
lalu datanya dihimpun, dianalisis, jadilah produk Jepang membanjiri dunia.
Selain itu, hal penting disebalik kegiatan catat-mencatat tersebut yang nampaknya belum banyak diajarkan di sekolah kita, yaitu pembelajaran untuk
mengamati.
Kebiasaan itu tidak hanya berlaku untuk wisatawan. Tetapi juga lajim berlangsung di dunia akademis. Seorang warga Indonesia yang pernah belajar dan mengajar di Jepang, Hasanudin Abdurakhman, dalam bukunya Melawan Miskin Pikiran : Memenangkan Pertarungan Hidup Ala Kang Hasan (2016) menceritakan :
Waktu belajar di jenjang S1 di Indonesia saya nyaris tidak bersentuhan dengan peralatan eksperimen, kecuali waktu praktikum. Karenanya banyak alat eksperimen yang belum saya kenal.
Saat saya belajar menggunakan alat, saya dibimbing oleh mahasiswa senior. Bersama saya ada beberapa mahasiswa seangkatan, yang baru saja bergabung pada grup riset tempat saya belajar. Saat diajari saya menyimak dan mempraktikan cara-cara mengoperasikan alat.
Sebagian besar saya ingat dan hafal di luar kepala, sedangkan hal-hal detil yang tidak mungkin saya ingat seperti angka-angka parameter, saya catat. Saya perhatikan para mahasiswa Jepang tadi sangat berbeda dengan saya. Mereka mencatat semua instruksi yang diberikan, langkah demi langkah. Beberapa bahkan membuat gambar.
Di masa-masa berikutnya saya perhatikan, mencatat adalah kebiasaan orang Jepang. Dalam setiap pertemuan mereka selalu siap dengan buku catatan dan pulpen. Demikian pula saat mengerjakan sesuatu.
Seorang associate professor yang merupakan teman dekat saya malah membuat semacam log book ketika melakukan eksperimen. Di log book itu dia mencatat setiap kejadian maupun hasil eksperimen, seperti grafik data yang tampil di layar monitor.
Ada pengalaman yang lebih menarik soal catat mencatat ini. Saat saya bekerja sebagai Visiting Associate Professor di Tohoku University yang juga almamater saya, salah satu eksperimen saya adalah memberikan doping yodium pada molekul DNA yang saya teliti. Ketika itu saya belum tahu cara melakukannya dan sedang mencari-cari literatur yang menjelaskan soal itu.
Saat itu profesor pembimbing saya teringat bahwa waktu dia studi di tingkat master dia pernah melakukan doping yodium atas sampel tertentu. Lalu dia pergi ke ruangannya dan kembali dengan sebuah buku catatan tua. Itu adalah buku catatan yang dia buat saat kuliah di tingkat master dulu. Artinya catatan itu sudah dia simpan hampir 30 tahun, berisi berbagai kegiatan eksperimen dia, termasuk tentang metode doping yodium tadi.
Luar biasa.
Kini saat saya bekerja di perusahaan, saya menyaksikan hal yang sama. Setiap orang Jepang selalu membekali diri dengan buku catatan. Setiap ada tamu, meski tidak ada agenda membahas persoalan tertentu mereka selalu datang ke ruang pertemuan dengan membawa catatan."
Tidak sekadar video. Umpama saja keteladanan Taylor Swift dan para akademisi dan turis Jepang itu sudah menulari para pelajar kita, semua fihak akan memperoleh manfaat. Sekadar contoh adalah pengalaman hebat dari para siswi sekolah
homogen cewek, SMA Tarakinita 1 Jakarta, di tahun 2017. Terdapat 10 siswi yang memperoleh kesempatan untuk memperluas
wawasan globalnya dengan ikut program homestay selama 10 hari di Jepang.
"SMA Tarakanita 1 Pulo Raya memberi kesempatan bagi 10 pelajar putri terbaik untuk dapat meraih Program Home Stay yang diadakan oleh Yayasan Suruga Jepang, mengikuti pendidikan di Sekolah Harima Hyogo, Jepang selama 10 hari, " jelas Suster Kepala Sekolah SMA Tarakanita 1 Pulo Raya, Sr. Pauletta, CB, M.Pd., pada Minggu (2/4) lalu seperti dilaporkan Tribun News.
Sepuluh duta pelajar dan bangsa Indonesia ke Jepang, 2017. |
Untuk bisa mengikuti program ini, para siswi mesti mengikuti seleksi yang cukup ketat. Dari total 79 pendaftar di tahap seleksi administrasi, hanya 39 siswi yang terpilih. Lalu setelah tahap interview, tersaring lah 25 siswi. Dan di tahap karantina ini, dari 25 finalis terpilihlah 10 siswi yang diberangkatkan. Mereka adalah :
1. Ardela Michellina Prabowo (kelas X)
2. Eugenia Putri Ayuningtyas (kelas X)3. Andini Yuvita Putri (kelas X)
4. Maria Ba’u Hasiholan (kelas XI)
5. Kresensia Chilia Ika Bulan (kelas XI)
6. Liony Maria Datu (kelas XI)
7. Diva Ananti (kelas XI
8. Natasha Davina (kelas XI)
9. Rania Ameera Moeljono (kelas XI)
10. Mulia Setyowati (kelas XI)
Salah satu dari ke-sepuluh dara-dara cantik dan cerdas sarat prestasi itu adalah Rania Ameera Moeljono yang kemudian mengunggah video yang segar dan dinamis, berupa mosaik kegiatan mereka selama di Jepang. Silakan klik disini. Adegan yang saya sukai adalah potongan adegan saat dari mereka sedang belajar bela diri a la Jepang.
Saya berandai-andai : apabila ke-sepuluh mereka sebelum berangkat memperoleh pesan atau bekal untuk membuat catatan aktivitas mereka, tentu akan mewariskan banyak catatan mengenai hal-hal positif selama mereka tinggal di negara maju tersebut. Syukur-syukur bila mereka adalah redaksi majalah sekolah Starpura, sehingga keterampilannya dalam menulis sudah memiliki dasar cukup.
Karena, hemat saya, bila saja catatan Ardela Michellina Prabowo dan kawan-kawan selama di Negeri Sakura itu digubah dalam bentuk cerita, besar kemungkinan himpunan itu dapat diterbitkan sebagai buku yang menarik. Lebih menarik lagi bila digabungkan dengan karya para murid Sekolah Harima Hyogo Jepang yang juga melakukan program serupa di Indonesia.
Semoga usul-usil ini bermanfaat. Dan sebenarnya tidak ada kata terlambat untuk mewujudkan hal di atas. Apakah ke-sepuluh duta istimewa bangsa Indonesia asal sekolah Puloraya itu memiliki pendapat atas tantangan positif ini ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar