Pengelola blog ESemA
Email : indolocavore (at) gmail.com
Email : indolocavore (at) gmail.com
“Sayangnya, aku nyaris tidak
punya hal yang tidak kupertanyakan.”
“Bagus. Bakat yang baik untuk jadi seorang
wartawan.”
Itu adalah sepenggal quote
yang dituliskan oleh Lucia Priandarini di bukunya yang berjudul Episode Hujan.
Petikan tersebut mendeskripsikan salah satu ciri seorang wartawan handal, yaitu
kritis dan selalu ingin tahu.
Menohok. Mata pancing
perhatian dari teras berita atau lead
diatas sepertinya berhasil mengait dan mengikat pembaca ketika ditebarkan oleh
penulisnya, Angelina Yohana, pada awal tulisannya. Dalam konteks dirinya
sebagai pelajar SMA Tarakanita Gading Serpong yang saat menulis itu menjadi
peserta magang di harian ternama, Kompas, nampak roh dan wawasan sebagai wartawan telah menyatu dalam dirinya.
Yohana, sungguh beruntung.
Karena dalam waktu singkat mampu menimba dan memiliki wawasan penting tersebut.
Demikian juga 36 teman lainnya yang tergabung dalam satuan yang diberi nama
populer Magangers Batch IX Kompas Muda 2017.
Mereka berkesempatan magang di koran nasional ternama tersebut pada bidang reporter, fotografer dan desainer
grafis pada 10-15 Juli 2017.
Daftar peserta yang digembleng sebagai reporter meliputi : 1. Ahmad Rizky, SMAN 23 Tangerang,
2. Aisyah Salsabilla, Binus International School Serpong,
3. Aulia Chanifa Haryadiputri, SMAN 55 Jakarta, 4. Aunal Adha
Sulistiari, SMA Kornita-IPB Bogor, 5. Benediktus Tandya Pinasthika, SMA Kolese
Kanisius Jakarta, 6. Chiara Farahangiz Samandari, SMA Athalia Tangerang, 7.
Faizah Diena Hanifa, SMA Negeri 2 Cibinong, 8. Fauzianie Mawar Pasyha, SMAN 16
Jakarta, 9. Gregorius Amadeo, SMA Regina
Pacis Bogor, 10. Ignacia Claresta, SMA 3
PSKD Jakarta,
11. Indira Maretta Hulu, SMAK 7 BPK Penabur Jakarta, 12. Muhammad Ari Kusumah, SMK Negeri 9 Tangerang, 13. M Bagus Al Rafi, SMA Nasional I Bekasi, 14. Muhammad Rafi Kamil, SMAN 1 Depok, 15. Nabillah Nurul Fikriyyah, MA Ummul Quro Bogor, 16. Ramzy Erzano, SMAN 34 Jakarta Selatan, 17. Rianita Gunawan, SMA Santa Ursula Jakarta, 18. Wulan Yuniarti, SMAN 2 Jakarta, 19. Vira Kristianingrum, SMAN 88 Jakarta, 20. Yohana, SMA Tarakanita Gading Serpong Tangerang
11. Indira Maretta Hulu, SMAK 7 BPK Penabur Jakarta, 12. Muhammad Ari Kusumah, SMK Negeri 9 Tangerang, 13. M Bagus Al Rafi, SMA Nasional I Bekasi, 14. Muhammad Rafi Kamil, SMAN 1 Depok, 15. Nabillah Nurul Fikriyyah, MA Ummul Quro Bogor, 16. Ramzy Erzano, SMAN 34 Jakarta Selatan, 17. Rianita Gunawan, SMA Santa Ursula Jakarta, 18. Wulan Yuniarti, SMAN 2 Jakarta, 19. Vira Kristianingrum, SMAN 88 Jakarta, 20. Yohana, SMA Tarakanita Gading Serpong Tangerang
Fotografer : 1. Alam
Afrizal, SMAN 4 Depok, 2. Andrew Aditya Kusuma, Sekolah Bogor Raya, 3. DellaRagil Putri, SMAK Santo Paulus Jember, 4. Fidelis Ilham Cesardianto, SMA
Pangudi Luhur II Jakarta, 5. Hafizh Daffa AS, SMKN 06 Tangerang, 6. Gregorius
Bernardino Saragih, SMA Kolese Gonzaga Jakarta, 7. Josephine Angeline, SMA
Kristen Ketapang 3 Jakarta, 8. Matthew Trayen, SMAK Penabur Gading Serpong
Tangerang
Desainer Grafis : 1. Aji
Nurhidayat, SMK Bhakti Anindya Tangerang, 2. Amadea Marie Kristi, SMA Santa
Ursula BSD Tangerang, 3. Fuad Fauzi, SMKN 6 Jakarta, 4. Gracello Yeshua Davny
Bonar, SMAN 98 Jakarta, 5. Jeremy Mahaputra Duta Pamungkas, SMA Ora et Labora
BSD Serpong Tangerang. 6. Kevin Muhammad Atilla Aryabima, SMAN 1 Kota Bekasi.
7. Shanazia Sekar Asri, SMA Negeri 81 Jakarta, 8. Syskia Anelis, SMAN 8
Jakarta.
Sebagaimana dikisahkan
oleh oleh Indira Maretta Hulu
dari SMAK 7 Penabur Jakarta, salah satu magangers seperti mereka, bahwa terdapat “sekitar 400 siswa yang mengirimkan karya
mereka, tapi hanya terdapat 37 siswa yang mendapatkan kesempatan langka
tersebut. Mereka mendapatkan kesempatan untuk menjelajahi kantor dan mengenal
tentang cara kerja Harian Kompas sebagai media informasi.”
Jangan Menjadi Bodoh. Sementara itu Muhammad Rafi Kamil dari Siswa SMAN 1 Depok melaporkan
pada awal permagangan itu, setelah para peserta memainkan beberapa permainan
menarik sebagai ice-breaker dan team
building agar sesama peserta terjalin keakraban mengingat saling asing satu
dengan lainnya.
Kamil menulis bahwa “sebagai awalan, para magangers
diperkenalkan dengan Harian Kompas. Mulai dari pendiri Kompas, hingga
prestasi-prestasi yang dicapai oleh penerusnya. Pada intinya, sejak didirikan,
Kompas berusaha menularkan semangat keindonesiaan dan kemanusiaan bagi pembaca
setianya di segala penjuru Nusantara.”
Ketika kemudian peserta
magang memperoleh pembekalan mengenai dasar-dasar jurnalistik yang diberikan
oleh jurnalis Kompas, Budi Suwarna, Muhammad Rafi Kamil mencatat tentang
penekanan terhadap pentingnya data yang terpercaya dalam menulis berita. Lanjutnya, ia mengutip paparan
Hendra dari Litbang Kompas yang menyampaikan bahwa ditengah derasnya
arus informasi, hoaks atau berita bohong bin palsu menjadi racun termudah dalam
menutup kebenaran informasi yang ada.
“Beliau menegaskan bahwa,
sebagai seorang jurnalis yang tulisannya akan dibaca oleh masyarakat luas,
menulis sesuai fakta yang adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tak
hanya dari sisi penulis, kita sebagai pembaca, harus memeriksa ulang kembali
sumber-sumber dari data yang disuguhkan dalam sebuah tulisan.”
Isu aktual dari pembekalan
mengenai sikap yang benar sebagai jurnalis dan sebagai warga negara di tengah
banjirnya informasi dari Internet, utamanya media sosial, juga menjadi bahan
catatan Rianita Gunawan dari SMA Santa Ursula Jakarta. Dia yang terpilih
sebagai ketua kelas untuk kelompok magangers tahun 2017 yang bertajuk Renjana
itu telah mengkristalkan panduan yang penting bagi kita semua : stop being dumb on the internet. Jangan
menjadi dungu di Internet.
Peringatan yang sama agar
kita tidak bodoh di Internet dan akibat fatalnya juga memperoleh garis bawah
dalam tulisan peserta lainnya, Wulan Yuniarti dari SMAN 2 Jakarta. Dia katakan, media sosial sendiri bisa menjadi
pedang bermata dua buat kita. Satu sisi bisa membunuh musuh dan di sisi lain
juga bisa membunuh diri sendiri. “Sudah jelas kan, demi medsos karena terlalu
fokus buat selfie, jadi deh lupa lingkungan sekitar yang berbahaya. Contohnya,
adanya kasus ‘Selfie Membawa Maut.’”
Memiliki Mata Baru. Permagangan mereka, tentu saja, tidak hanya berkutat masalah teori. Datanglah
hari ketiga sebagaimana dicatat oleh Ignacia Claresta
dari SMA 3 PSKD Jakarta, ketika tiba masanya mereka berpraktek dan belajar
tentang bagaimana cara menjadi reporter, fotografer, dan desainer grafis.
Tulisnya : “Setelah ikut training, Magangers Muda mulai
turun ke lapangan untuk menerapkan materi-materi yang sudah diberikan. Ada
beberapa destinasi yang akan dikunjungi oleh tiap kelompok, antara lain Stasiun
Palmerah, Pasar Palmerah, Kuburan Belanda, Museum Tekstil, Perempatan Slipi, Pasar
Bunga Rawabelong, Pasar Pisang, dan Kuliner Binus.”
Obyek atau destinasi di
atas yang sehari-harinya nampak terlalu
biasa dan mungkin tidak menarik perhatian, kemudian bisa berubah. Utamanya
setelah mereka memperoleh pembekalan wawasan jurnalistik, membuat mereka seolah memiliki mata dan wawasan baru.
Dengan wawasan itu pula kemudian banyak mereka temukan hal-ihwal aktivitas
manusia yang bernilai untuk diangkat sebagai berita, sebagai cerita.
Silakan nikmati serunya sebagian
dari hasil reportase mereka : DAY 3! – First Challenge, Terjun ke LapanganMencari Berita, Menyingkap Balik Layar Renjana, Menjelajah Kuliner di SekitarKampus BINUS, sampai Mengenal Pesona Pasar Palmerah.
Apa Sesudah Pasca Magang ? Keterampilan menulis, memindahkan pikiran ke dalam
bahasa, seringkali hanya dikaitkan dengan beberapa profesi tertentu saja.
Wartawan, penyair dan sastrawan. Juga dosen. Para magangers telah menerjuni
kiprah tersebut dengan menjadi jurnalis muda. Menulis untuk keperluan menulis
berita.
Yang patut ditunggu adalah
: apa yang bakal mereka lakukan sesudah praktek magang tersebut usai ? Apakah
mereka tergerak untuk memupuk terus kebiasaan menulis untuk meningkatkan kapasitas intelektualnya ? Apakah mereka mengelola blog pribadi untuk hal tersebut ? Apakah fihak sekolah memberikan sesuatu apresiasi yang memadai kepada mereka ?
Apakah ilmu, wawasan dan seluk-beluk praktek jurnalistik yang mereka serap dan lakukan itu bisa mereka tularkan kepada teman-teman sekolah mereka, misalnya untuk penerbitan yang lebih baik bagi majalah sekolah atau bahkan bagi situs web sekolah mereka ? Karena banyak situs dari sekolah ternama pun mangkrak, seadanya, bahkan memprihatinkan baik isi mau pun penampilan situs webnya.
Apakah ilmu, wawasan dan seluk-beluk praktek jurnalistik yang mereka serap dan lakukan itu bisa mereka tularkan kepada teman-teman sekolah mereka, misalnya untuk penerbitan yang lebih baik bagi majalah sekolah atau bahkan bagi situs web sekolah mereka ? Karena banyak situs dari sekolah ternama pun mangkrak, seadanya, bahkan memprihatinkan baik isi mau pun penampilan situs webnya.
Apakah permagangan mereka itu
mampu membukakan cakrawala pemahaman bahwa dalam dunia pendidikan yang akan mereka
tempuh selanjutnya, dan juga ketika kelak menerjuni dunia pekerjaan, betapa keterampilan menulis dibutuhkan oleh semua
oranguntuk menunjang sukses karier dan kehidupannya ? Termasuk menulis sebagai wujud
peranserta dirinya sebagai warga negara ? Sadarkah mereka bahwa keterampilan menulis
merupakan bagian dari keterampilan berkomunikasi, di mana praktek komunikasi yang baik
dibutuhkan dalam sepanjang usia yang bersangkutan ?
Sayangnya, keterampilan
menulis nampak bukan sebagai hal yang dianggap penting dalam dunia pendidikan
kita. Contoh aktual : di pelbagai sekolah menengah atas, di Jakarta pun, pada sekolah yang kita kenal sebagai
sekolah ternama pun, tidak banyak dari sekolah itu yang mampu mengelola
penerbitan berisikan karya-karya anak didik mereka.
Sekadar contoh, bila kita
menelusur di Internet untuk mencoba mengetahui apa saja kegiatan
ekstrakurikuler, misalnya di SMA Tarakanita 1, SMA Tarakanita 2, SMA Santa Ursula, SMA Santa Theresia, SMA Negeri 3 Jakarta, tidak tercantum kegiatan
menulis sebagai salah satu mata kegiatan ekskulnya. Hanya di SMA Regina Pacis Jakarta yang mencantumkan kegiatan ektrakurikuler jurnalistik.
Harapan saya : semoga
mereka yang telah menjalani permagangan itu bisa menebarkan virus pentingnya membaca
dan menulis di lingkungan sekolahnya. Karena di dunia yang sarat perubahan
dewasa ini, agar seseorang mampu terus survive
maka setiap orang dituntut untuk terus belajar seumur hidup. Salah satu cara
belajar yang terbaik adalah dengan membaca dan menulis.
Seorang jurnalis terkenal,
Fareed
Zakaria, yang kita kenal sebagai host acara bergengsi “Fareed Zakaria’s GPS” di
CNN dan editor majalah Time, dalam bukunya In Defense of Liberal Education (2015)
telah menegaskan : “Manfaat utama pendidikan liberal adalah pengajaran mengenai
bagaimana menulis, karena menulis membuat Anda mampu berpikir.”
Merujuk pendapat yang dikutip Yohana di awal artikel mengenai pentingnya selalu bertanya, maka kita kini bisa bertanya : mampukah dunia pendidikan
kita mendengar pendapat hebat dari Fareed Zakaria ?